RJSLOT88 – Kisah Luka Modric: Rekrutan Terburuk yang Kemudian Menjadi Legenda Real Madrid

Luka Modric memberikan tepuk tangan setelah laga La Liga antara Real Madrid vs Real Sociedad, Sabtu (24/5/2025). (c) AP Photo/Cesar Cebolla
Bola.net – Senin, 27 Agustus 2012 silam, Luka Modric berdiri di atas rumput hijau Santiago Bernabeu untuk pertama kalinya sebagai pemain Real Madrid. Mengenakan seragam putih kebesaran Los Blancos, ia resmi diperkenalkan sebagai rekrutan anyar dari Tottenham. Itulah babak baru dalam karier sang playmaker asal Kroasia—momen yang tampak seperti takdir sepak bola itu sendiri.
Modric datang dengan reputasi mentereng. Bersinar di Euro 2008 dan menjadi pilar penting yang mengantar Spurs kembali mencicipi atmosfer Liga Champions, ia dinilai sebagai gelandang yang siap untuk pentas utama. Saat itu, usianya masih 26 tahun. Tottenham sempat menolak pendekatan dari Chelsea sebelum akhirnya melepas Modric ke Spanyol dengan mahar £30 juta (sekitar Rp570 miliar).
Florentino Perez dan Jose Mourinho menyambutnya sebagai bagian penting dari proyek besar Madrid. “Ia punya visi, teknik, keputusan cepat, bisa menekan, dan sangat cerdas dalam menempatkan posisi,” ujar Mourinho dalam sebuah wawancara. Madrid sedang bersiap menyapu bersih segalanya.
Awal yang Sulit: Dari Harapan Menjadi Ejekan
Namun, tidak ada yang benar-benar mudah di Real Madrid. Musim debut Modric di bawah asuhan Mourinho justru menjadi salah satu musim paling penuh ketegangan. Meski langsung membantu Madrid mengalahkan Barcelona di Supercopa de Espana, performa tim di La Liga melempem. Dalam empat laga awal, Madrid hanya meraup empat poin. Mereka akhirnya tertinggal 18 poin dari Barcelona di akhir musim—jurang yang tak bisa dijembatani.
Di tengah krisis performa, Modric sendiri belum menemukan ritme permainan. Datang telat tanpa pramusim dan ditempatkan sebagai gelandang serang, ia kesulitan menyamai kontribusi Mesut Ozil. Tak banyak assist, minim gol, dan belum menyatu dalam skema permainan.
Menjelang Natal 2012, harian olahraga Marca menggelar jajak pendapat pembelian terburuk di La Liga musim itu. Modric muncul sebagai ‘pemenang’ dengan 32 persen suara, mengalahkan nama-nama lain seperti Alex Song. Sebuah ironi bagi pemain yang baru saja tiba.
“Ini Real Madrid. Tekanannya luar biasa, saya paham itu,” kata Modric kepada media Kroasia. Namun, saya percaya saya masih bisa membuktikan diri.” Di tengah kritik pedas, hanya sedikit yang percaya dirinya masih bisa bangkit.
Titik Balik: Bernabeu Mulai Mengenali Maestro
Segalanya mulai berubah di semifinal Liga Champions melawan Borussia Dortmund. Di leg pertama, Madrid dibantai 1-4. Tapi pada leg kedua di Bernabeu, Modric dipasang lebih dalam, berduet dengan Xabi Alonso. Ia tampil tenang, mengatur tempo, dan menyelesaikan 70 umpan—dua kali lipat dari leg pertama. Madrid menang 2-0, tapi gagal lolos ke final.
Di sanalah publik Bernabeu menyadari bahwa Modric bukanlah pencetak angka, melainkan pengatur irama. Seorang komposer, bukan solois. Sejak itu, posisinya semakin menguat.
Kedatangan Carlo Ancelotti musim berikutnya mengubah segalanya. Formasi 4-3-3 yang fleksibel mempertemukannya dengan Toni Kroos dan Casemiro, membentuk trio lini tengah paling legendaris dalam sejarah klub. Modric kini diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri—pengatur permainan sejati.
Pengakuan dan Keabadian di Santiago Bernabeu
Modric butuh waktu untuk meyakinkan publik Madrid, tapi ia tak pernah menyerah. Musim demi musim ia lewati dengan elegan, konsisten, dan penuh dedikasi. Gelar demi gelar pun datang. Enam trofi Liga Champions, empat La Liga, lima gelar Piala Dunia Antarklub, hingga Ballon d’Or 2018 sebagai puncak pengakuan dunia.
“Ia membuat saya lebih agresif dan selalu meminta lebih dari setiap pemain,” ujar Modric tentang Mourinho. “Saya hanya bisa berkata baik tentang dia.” Bahkan ketika Mourinho sudah hengkang, kepercayaan awal darinya tetap diingat sang maestro.
Modric membuktikan bahwa legenda tak dibentuk dari awal yang mudah, melainkan dari kegigihan untuk bertahan saat dunia meragukan.
Akhir Sebuah Era
Pada 22 Mei 2025, Real Madrid secara resmi mengumumkan bahwa Luka Modric akan meninggalkan klub setelah 13 tahun pengabdian. Ia akan menyelesaikan musim terakhirnya bersama tim pada ajang Piala Dunia Antarklub 2025 di Amerika Serikat.
Dua hari setelah pengumuman itu, ia menjalani laga kandang terakhir di Bernabeu melawan Real Sociedad. Dalam suasana haru, Modric menerima penghormatan dari klub dan mendapat guard of honour dari rekan setim serta para pemain lawan sebelum peluit akhir berbunyi. Ia berdiri di tengah lapangan, tak lagi sebagai pemain asing yang diragukan, melainkan legenda yang dielu-elukan.
Jurnalis sepak bola Guillem Balague melabeli perpisahan ini sebagai “akhir dari sebuah era” dalam sejarah Real Madrid.
Dari Cemooh Menjadi Warisan Abadi
Luka Modric adalah kisah yang sempurna tentang bagaimana kegigihan mengalahkan keraguan. Ia datang dengan ekspektasi tinggi, lalu dihantam ejekan.
Namun, dia akhirnya menjawab semua itu dengan prestasi dan ketenangan luar biasa.
Madrid mungkin bukan tempat untuk semua pemain besar. Akan tetapi, bagi Modric, Bernabeu adalah panggung tempat legenda diciptakan—bukan dari awal yang sempurna, melainkan dari kesediaan untuk terbakar, dan pada akhirnya, menyala paling terang.
Leave a Reply